Tahun 90an, di Kota Jakarta dan sekitarnya terdapat banyak PO (Perusahaan Otobus) yang melayani transportasi AKAP, AKDP maupun Pariwisata. Mereka tentunya saling bersaing secara sehat untuk mendapatkan penumpang sebanyak mungkin dengan cara menawarkan kepada calon penumpang berbagai trayek, kelas bis, fasilitas dan hal-hal lainnya.
Dari segi trayek, untuk trayek di pulau Jawa sendiri banyak PO yang melayani trayek ke daerah-daerah mulai dari Bandung, Semarang, Jogja, Solo sampai ke Surabaya, yang jumlahnya mungkin sekarang sudah tidak dapat diingat lagi. Sedangkan untuk pelayanan ke luar pulau Jawa, seperti Sumatera ada beberapa PO asal Sumatera yang melayani trayek dari Jakarta ke beberapa daerah di pulau Sumatra, sebut saja PO Lorena, PO ALS, PO SAN, CV. Pelangi, dan lain sebagainya. Sementara, untuk trayek dari Jakarta ke Bali dan Lombok, sebut saja PO Safari Dharma Raya (OBL) dan Lorena yang saya ingat melayani rute itu.
Dari segi kelas, waktu itu banyak terdapat kelas-kelas dalam bis AKAP maupun AKDP, yang tentunya mempengaruhi fasilitas yang akan didapat bagi penumpang. Mulai dari Economy Class, Patas, VIP Class, Bussiness Class, Executive Class, dan Super Executive Class. Beberapa PO juga memiliki penamaan tersendiri seperti Super Deluxe, Royal Coach, dan lain-lain. Dari segi fasilitas, setiap PO memberikan fasilitas yang benar-benar sesuai dengan kelasnya, artinya kenyamanan penumpang benar-benar menjadi hal yang diutamakan. Contohnya, penumpang kelas Super Executive akan mendapat fasilitas berupa kursi yang lebar, lega, empuk serta nyaman, selimut yang tebal, bantal, TV dan musik, toilet, serta mendapat snack dan makan prasmanan, belum lagi pelayanan kru nya yang ramah, bis yang nyaman dan bagus, dan fasilitas plus-plus lainnya.
Selain itu, hampir semua PO menawarkan kecepatan untuk sampai di tujuan. Oleh karena itu, muncul istilah Bus Cepat, atau Bis Malam Cepat, karena mereka memang memberikan hal itu. Maka dari itu, perjalanan di malam hari menjadi perjalanan yang menegangkan. Pantura, jalur yang sering dilewati bis-bis malam, dijadikan arena balap buat para sopir bis malam. Adegan salip-salipan kerap sering terjadi. Saya sendiri mengenal satu PO yang terkenal dengan kenekatan-nya di jalan pantura, yaitu Lorena. Sayang, dulu tidak punya kesempatan untuk naik bis ini.
Sekarang, setelah jaman reformasi, apa yang terjadi? Krisis yang melanda Indonesia tahun 1998 memberikan dampak yang luas, salah satunya kenaikan harga BBM. Beberapa PO bangkrut karena terus merugi, keuntungan-keuntungan yang di dapat tidak dapat mengimbangi jumlah pengeluaran untuk perawatan armada dan bahan bakar yang kian meningkat. Hal ini diperparah dengan banyaknya maskapai pesawat terbang yang menawarkan tiket lebih murah. Hal ini membuat beberapa PO terpaksa menutup trayek-trayek tertentu, terutama trayek ke luar pulau Jawa. Harga tiket bis semakin naik tetapi tidak diimbangi dengan pelayanannya. Pelayanannya justru menurun antara lain mengurangi jatah snack dan makan, menambah jumlah seat yang sebelumnya terasa lega sekarang menjadi lebih sempit. Fasilitas-fasilitas yang ada tetap dipertahankan walau sudah rusak dan usang, contohnya kursi.
Banyak PO yang mengurangi jumlah armada yang beroperasi, termasuk mengurangi kelas yang tadinya bervariasi sekarang tidak lagi. Dari hal inilah kemudian masalah ketidak-puasan dari penumpang bermunculan. Sebagian besar penumpang merasa tidak puas karena tidak mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang sesuai dengan kelasnya. Contohnya, seorang penumpang naik bis kelas Super Executive, tapi dia mendapatkan kursi yang sudah rusak, AC tidak dingin, toilet bau, tidak dapat snack, makanannya tidak enak, TV dan musik rusak sampai dengan pelayanan kru yang tidak ramah.
Selain fasilitas, banyak PO yang mempertahankan bis-bis yang sudah tua dan bahkan sebagian sudah tidak layak jalan lagi, tanpa adanya peremajaan armada yang baru. Isitlah bus Cepat menjadi slogan belaka, jangankan cepat sampai tujuan, bis malah mogok di jalan. Perjalanan di pantura menjadi perjalanan yang membosankan, karena bis-bis berjalan lambat dan santai. Selain karena armada yang sudah tidak prima, hal ini dikarenakan solar Jatah, yaitu bis yang dijatahi sekian liter solar untuk setiap perjalanan. Jadi, kalo supir bis ingin ngebut maka siap-siap saja tekor untuk solar.
Masa Pasca Millenium dan Krisis merupakan masa-masa tersulit dan sangat mematikan untuk perusahaan Otobus. Kini, setelah semuanya berlalu, perusahaan-perusahaan otobus mencoba kembali memajukan dan mengangkat perusahaan mereka yang sempat jatuh. Beberapa PO sudah mulai membenahi perusahaan dan meningkatkan pelayanan. Bahkan, tidak sedikit PO-PO baru bermunculan, ini artinya moda transportasi darat ini sedikit demi sedikit mulai bangkit kembali, kejayaan yang silam mulai dirajut kembali. Beberapa PO mengeluarkan armada terbarunya dengan mesin terbaru pula. Saat ini mereka pun mulai saling berlomba untuk memberikan yang terbaik untuk penumpang mulai dari mesin bis yang baru dan tangguh di jalanan, desain karoseri yang cantik, interior yang bagus dan nyaman, sampai fasilitas. Dibawah ini terdapat foto-foto perbandingan bis jadul era 90an dengan bis yang saat ini. Saya, sebagai pengguna setia dan penggemar bis, mengharapkan kelak PO-PO di seluruh Indonesia (tidak hanya Jawa) bisa berjaya lagi melebihi kejayaan yang lalu.
Foto Bis PO. Muji Jaya, jadul dan yang terbaru
Foto Bis PO. Kramatdjati, jadul dan saat ini
Foto Bis PO. Ramayana, jadul dan yang terbaru
Foto Bis PO. Putra Remaja, jadul dan saat ini
Sumber Foto2 dari Forum Bismania: www.bismania.com