Halaman

Senin, 16 April 2012

Touring Keberuntungan (Bismania)

Hai-hai... lama tak jumpe...

Kali ini saya mau menulis report turing, Touring Keberuntungan. Mengapa disebut Touring Keberuntungan? Karena saya merasa mendapat banyak sekali faktor luck dalam perjalanan saya kali ini. Awalnya saya nggak ada niat untuk membuat report turing, tapi lama-lama tangan saya gatel pengen menulis, soalnya udah lama nggak kasih report. Lagian gak ada salahnya khan, kita share kita punya pengalaman... Mungkin ceritanya bakal panjang, membosankan, foto2nya kurang, dll. In spite of that, I hope you enjoy my story.

OKe, ceritanya dimulai dari sejak rasa penasaran saya sama armada yang satu ini. Dari power mesin nya, dari interiornya, terutama dari seatnya... Yapp... itu adalah Nu3tara NS-01 yang terbaru, yang baru ngelen sekitar bulan Januari tahun ini. Sementara yg empunya Forum ini udah ngerasain 4x (dapet hot seat pula), dan warga Bandung yang mungkin sudah mencoba berkali-kali, lantaran NS-99 seat elektrik sudah ngelen duluan tahun lalu. Saya sendiri terakhir naik Nu3tara Super Eksekutif sekitar 2-3 tahun yang lalu, karena memang harga di kelas ini terbilang tinggi. Kali ini saya paham dan mengerti kalau harga yang akan saya bayar bakalan tinggi, dan memang sudah konsekuensinya dan saya telah mempersiapkan segalanya selama sebulan lamanya.

Sempat direncanakan turing dilakukan pada akhir Februari, tetapi gatot alias gagal total karna nggak dapet hot seat, dapetnya malah seat belakang. Akhirnya... searching lagi tanggal yang pas. Nah... ketemu hari libur tgl 23 yang jatuhnya hari Jumat. Setelah dicek berdasarkan hongshui, tanggal 22-25 merupakan tanggal yang baik untuk melakukan perjalanan. Percaya atau tidak ... bisa dibuktikan pada cerita selanjutnya... Dan tiketnya langsung saya beli (bukan pesen lagi bro), dimana waktu itu saya datang langsung ke Kantor Nu3tara di Daan Mogot pada tanggal 18 Februari. Saya bertanya untuk perjalanan pp tanggal 22-23, ternyata pas tanggal 22, seat depan masih kosong jadi saya langsung ambil seat 1C. Sedangkan untuk perjalanan pulangnya, saya dapet seat 4C (seat ini sebenarnya sudah saya booking via telepon beberapa hari yang lalu).

SKIP... menunggu untuk turing selama 1 bulan itu bukan hal yang gampang... soalnya saya bukan orang sabaran kalau soal turing... hhhehe

Tanggal 22 Maret, saya nggak masuk kerja, jadi bisa istirahat dulu dan berangkat tidak terburu-buru. Saya datang ke Terminal Rawamangun jam 5 sore, sebelumnya saya memang meminta untuk naik dari terminal ini. Saya keliling terminal, ternyata Si Putih Scania - begitu panggilan saya sama armada yang satu ini seterusnya - belum datang. Memang suasana di terminal Rawamangun saat itu sangat-sangat ramai. Terlihat PO tujuan Jepara, dsk nggak hanya ada 1 atau 2 armada saja, melainkan bisa 4 sampai 5 armada.

Akhirnya jam 6 kurang, Si Putih Scania dateng juga. Yang mengejutkan, ternyata saya nggak turing sendirian. Di dalam ada Bagus Tanoto dan adiknya Bagus juga orangtua dan saudaranya. Jadinya ada temen turing nih, hehehe... Inilah Keberuntungan saya yang pertama. Si Putih ternyata ditunggani driver aslinya yaitu Pak (Mbah) Darsono dan Pak Tris, dan ini Keberuntungan yang Kedua. And You Know, harga tiket yang harus saya bayar pada waktu membeli tiket sebulan yang lalu, sebesar 200 ribu Rupiah, dan tidak ada kenaikan sama sekali. Sementara untuk PO yang lain ada kemungkinan naik, karna long weekend. Dan ini menjadi Keberuntungan saya yang Ketiga.

Jam 7 kurang, kami berangkat dengan Pak Tris sebagai driver pertama. Kami keluar terminal bareng Muji Jaya MD-88 dan Shantika Scorpion King putih ijo, dengan posisi paling depan Shantika, kemudian Muji, dan paling belakang Si Putih Scania. Awal perjalanan kurang begitu menarik perhatian, baru setelah memasuki Tol Cikampek saya menikmati sensasi naik bus ber-tenaga besar. Muji Jaya MD-88 dapat terlewati karna posisi Si Putih lebih menguntungkan sedangkan Muji terhambat mobil-mobil kecil. Setelah itu Si Putih berlari melewati bis-bis lain yang bagi saya adalah hal yang biasa saja (sudah bukan hal yang istimewa lagi). Nah, ketika ketemu Shantika Scorpion King putih ijo barulah saya cukup terkesima. Shantika memang berlari cukup cepat berada di kiri jalan dan sesekali menyalip lewat bahu jalan, sedangkan Si Putih berada di kanan jalan. Si Putih nggak mau kalah cepat, dan berusaha menerobos jalanan yang sebenarnya nggak mudah untuk diterobos karna cukup padatnya kendaraan yang ada di depan. Awalnya tertinggal jauh, tetapi ternyata lalu lintas berpihak kepada kami, dan benar saja kami melewati Shantika ijo yang terjebak truk dan sebagai bonus kami juga mendapatkan Sinjar Jaya 14 ZX.



Setelah KM tertentu dan saya lupa dimana itu, bertemulah kami dengan Muji Jaya Kuning, ex-batangan Mas Bambang MD-88. Saya sih mikirnya si Kuning MJ itu akan tersalip dalam waktu yang tidak lama. Tetapi nyatanya sebaliknya. Saya melihat MJ Kuning ini berlari dengan agresif sekali. Namun, Pak Tris ini tetap tenang, dan tidak tergoda dengan goyangan-goyangan MJ Kuning. Klo saya terawang, mungkin Pak Tris nggak mau terburu-buru dulu. Dan setelah beberapa lama, Si Putih mendapat peluang meng-OT MJ Kuning. Tiba di Gerbang Tol Kalihurip, saya melihat antrian yang cukup panjang di 2 loket. Saat Si Putih sudah dalam posisi di loket pembayaran, tiba-tiba MJ Kuning mendahului dari kiri. "Lho, kok dia bisa cepet ya, apa nggak bayar tol" pikir saya. Kelihatannya ada loket yang baru dibuka dan MJ berhasil posisi pertama.



Sepanjang jalan Dawuan masih tetap membuntuti MJ Kuning. Di Jalan Bekasi Raya yang cukup padat ini, Si Putih mencoba menyalip lewat lajur kiri (sementara MJ kuning berada di lajur kanan). Nah saat momen menerobos lewat jalur kiri inilah, tiba2 Si Putih dilempar kaleng minuman softdrink oleh seseorang dari pinggir jalan. Kemungkinan dia merasa kesal atau kaget. Untungnya, tidak ada kerusakan akibat insiden kecil itu. Sayangnya lagi, momen itu tidak saya rekam dengan kamera. Selanjutnya adalah perjalanan yang biasa saja dan sebelum berhenti di RM Taman Sari I, saya sempat merekam Si Putih saat melewati perbaikan Jalan di sekitar Pamanukan.

Sesampainya di RM Taman Sari I dengan pelataran parkirnya yang masih kosong, saya langsung ke meja prasmanan. Menunya lumayan ajib dan menggoda selera. Ada martabak telor, sayur tahu, ayam bumbu kecap, dan satu lagi masakan yang mirip rawon, isinya daging dengan potongan2 kecil.


Setelah kenyang, langsung lanjut ke ritual wajib, yaitu foto-foto. Tidak lama kemudian NS-04 datang, kebetulan kita lagi photo session. Tetapi karena tempat parkirnya sempit, ya saya ndak bisa foto. Setelah sesi potret yang terakhir berhasil, saya dan rekan seperjalanan saya naik ke bus, karena sudah dipanggil dari tadi. Keasyikan photo hehehe...





Kali ini perjalanan Si Putih Scania ditunggangi oleh Pak Darsono. Kesan pertama sebenarnya diluar ekspektasi saya, beliau santai mengendarai Si Putih Scania ini. Padahal menurut komentar temen-temen yang pernah ikut beliau, Pak Darsono ini "joss lho". Tetapi saya pun tetap setia mengamati perjalanan. Sesampainya di suatu daerah sekitar Jatibarang, Pak Darsono membelokan arah (ke kiri) berlainan dengan bus-bus lain yang berjalan (terus) lurus. "Lho kok lewat sini ya..." gumam saya dalam hati. Setelah sekian lama berjalan sendirian di jalanan yang sepi, saya mulai menduga-duga, "Jangan2 ini jalur lama antara Pamanukan - Indramayu – Cirebon, yang dulu biasa dilewati sekitar tahun 90an???" Dilihat dari ciri-ciri jalan yang sangat lebar, tetapi jalan ini sangat sepi dan minim pencahayaan, dan sesekali benar-benar tanpa lampu jalan (yang ada hanya lampu kendaraan). "Wwooowww... ini benar-benar luar biasa buat saya nih..." Saya semakin yakin kalau ini memang jalur lama setelah saya mendengar percakapan Beliau dengan Bro Bagus dan saya cek lewat GPS di ponsel saya. Jadi Pak Darsono ini dari Jatibarang belok kiri lewat Karangampel, suatu nama daerah yang sebenarnya nggak asing buat saya. Dari Karangampel belok ke arah selatan, ujung-ujungnya bisa ke Kota Cirebon dan Kanci. Alasan Pak Darsono melewati jalur ini, ya karena sepi itu tadi. Kalo jalur biasa katanya banyak truk-truk, jadi nggak bisa jalan kenceng. Benar saja, dengan lewat jalur ini, laju Si Putih jadi cepat sekali, beda saat sesudah Rumah Makan.

Karena jalan sepi, otomatis membuat saya menjadi agak ngantuk dan lama-lama ketiduran. Bangun-bangun sudah ada di suatu jalan, entah dimana saya belum tahu. Nggak lama kemudian bis berhenti di suatu Rumah Makan yang sudah sangat sepi. Di situ ada tertulis RM. Kalijaga, mudah-mudahan nggak salah baca ya. Saya pun nggak lama kemudian tertidur lagi. Bangun tidur yang kedua kalinya saya sudah berada di jalur antara Losari dan Pejagan, waktu itu saya melihat flyover. Daerah-daerah ini memang sudah asing bagi saya, lantaran tidak pernah lewat jalur ini lagi dan perkembangan di jalur ini cukup pesat (salah satunya, ya adanya fly over itu). Akhirnya saya melihat tempat yang familiar, yaitu pertigaan Pejagan. Tanda-tandanya ada di pintu KA, lampu merah di pertigaan, dan bus-bus malam yang datang dari arah Selatan.

Dan saya pun tertidur lagi. Rasanya memang sayang kalo kita naik kelas Super Eksekutif kalau kita nggak tidur.... hehehe. Saya mulai terbangun ketika menjelang Jalur Alas Roban. Nah, moment seperti ini yang memaksakan diri saya untuk tetap terjaga. Jalur meliuk-liuk disertai turunan dan tikungan yang tajam. Alas Roban, masih menjadi jalur yang fenomenal buat saya. Tetapi sayangnya jalannya sudah tidak mulus lagi, banyak sekali lubang-lubang dan aspal yang tidak rata. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri buat Si Putih Scania untuk menyalip bus Safari Dharma Raya yang ada di depan.



Pak Tris kembali di belakang kemudi. Perjalanan menuju perbatasan Kabupaten Semarang masih cukup seru. Saya yang sudah nggak bisa lagi tidur, justru malah merasa was-was. Waktu sudah menunjukan pukul 04.30 pagi, tetapi belum juga sampai Semarang. Kalau normalnya, jam setengah 5 pagi sudah sampai Kudus atau paling nggak Kota Semarang. Namun kecemasan saya langsung pudar saat Si Putih sedang beradu dengan Black Bus scorpion king, yang sepertinya jatah LB. Sayangnya tidak berlangsung lama, Pak Tris mengeksekusinya cukup cepat, dan memang kita agak kesiangan saat itu, jadi ya... bisa ditebak khan. Joss gandoss.

At last, Selamat Jalan Kabupaten Kendal. Nggak lama kemudian sampailah kami di pertigaan RM. Pantes. Di sini seperti biasa, Nu3 selalu memotong jalur. Niat supaya lebih cepat malah kandas, si ular besi mau lewat. Jalur ini tembusannya tepat sebelum Terminal Mangkang. Biasanya bus AKAP diwajibkan masuk ke terminal ini, tetapi Si Putih ini malah jalan terus. Posisinya yang dikanan sementara ada bus di kiri yang menghalangi dan akhirnya memilih jalan terus.

Sisa-sisa perjalanan di Kota Semarang tidak ada yang menarik, malah kecemasan saya kembali muncul. Niat saya untuk ke Kota Pelajar bisa terancam gagal. Sejak awal saya berencana ke Jogja dengan mengambil perjalanan Patas Nu3 Kudus - Jogja paling pertama yaitu jam 5. Kenapa harus yang pertama? Menurut jadwal yang ada di website Nu3, jika saya naik patas yang pertama, maka akan sampai di Jogja sekitar jam 9. Tetapi kalau saya naik patas dari Kudus jam 7, maka sampai Jogja bakal di atas jam 11-12. Ndak bakalan nutut untuk kembali ke Kudus lagi sebelum jam 6 sore. Setidaknya saya punya 2 kesempatan, yaitu naik Patas Nu3 yang berangkat jam 5 dan jam setengah 6. Sayangnya saya malah ragu mendapatkan 2 kesempatan itu. Gimana nggak? Jam 5 ini masih di Lingkar Luar Utara Semarang (Jalan Yos Sudarso), sedangkan Semarang - Kudus membutuhkan waktu 1 jam lamanya. Akhirnya saya bertanya kepada Pak Tris, dan menurut beliau, turun di Pool Genuk adalah yang opsi terbaik, karna dari Genuk saya bisa naik Patas Jogja yang pertama maupun yang kedua. Dan saya pun turun di Pool Nu3 Genuk tepat jam 05.20 pagi. Saat turun, saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Tris dan kru (padahal nanti malam ketemu lagi hehehe...).

Di Pool Genuk, saya mendapati tempat ini sepi, ruang tunggu penumpang juga masih dikunci. "wadouh.." Saya melihat ada orang yang sedang tidur di mobil paket Nu3tara, langsung saya bangunkan. Ternyata dia adalah salah satu kru di Pool Genuk. Kenek NS-01 yang ternyata mengikuti saya ikut membangunkan orang itu sambil meminta mengangkut barang/paket dari bus. Saya pun langsung bertanya, "Mas, Patas Jogja udah lewat belum ya?" Setelah beberapa penjelasan, ternyata patas pagi (pertama) sudah lewat jam 05.15 tadi, tetapi patas kedua akan lewat nanti jam 6 kurang seperempat. Saya merasa lega dan menunggu dengan sabar kehadiran Patas Nu3tara itu. Saya memang orang yang beruntung.

Patas Nu3 yang saya tunggu datang tepat waktu. Terlihat penumpang masih sediki, tidak ada setengahnya. Saya naik dan duduk di barisan tengah. Dengan engine Mercedes-Benz OH1525 balutan body setra, saya merasa yakin akan sampai di Jogja lebih cepat dan selamat, dengan mengabaikan 1 hal penting. Hal penting?... You should know, ada satu hal penting setiap kali kita naik kendaraan umum... yaitu Ongkos. Anda benar saudaraku, sejak berangkat dari rumah, saya lupa untuk men-charge isi dompet saya yang waktu itu cuma ada selembar 50rb. Itu pun sudah saya pakai sebagian buat cuci steam motor, cukur jenggot, dan ke toilet umum. Hal yang penting ini baru saya sadari ketika bus sudah memasuki Tol Semarang. Saya periksa dompet saya dan... puji Tuhan, masih tersisa sekitar 40rb. Tetapi saya masih ragu soal harga tiket, apakah masih sama 35rb atau sudah naik. Si Kondektur menghampiri saya sambil berkata, "Jogja?". Tanpa banyak cakap, saya langsung menyodorkan uang pas 35rb. Sang Kondektur melirik uang yang saya sodorkan, kemudian memberikan tiket dengan tujuan Jogja sambil mengambil uang itu dan meninggalkan saya tanpa mengatakan apa pun. Itu tandanya bahwa transaksi telah berhasil. Beuhhh... leganya bukan main, detak jantung kembali normal. Padahal sempat kepikiran bakal diturunin di tengah jalan, yang pastinya bakal mengacaukan seluruh rencana yang ada dan nggak kepikiran mau ngapain lagi. Tetapi lagi-lagi, keberuntungan ada di pihak saya. Sebagai ungkapan keberuntungan, saya mengabadikan pemandangan pagi itu.



Keluar dari Tol, bus berhenti di Sukun dan tibalah saatnya untuk acara "Ngetem". Bus berhenti cukup lama, dan karena bus berangkat pagi jadi kalau belum penuh, ya nggak akan jalan. Jadi galau nih, but It's alright..., saya yakin Nu3 tepat waktu sampai tujuan. Selama 'ngetem' di sini, banyak sekali pedagang asongan yang masuk ke dalam, ada yang jualan tahu, lontong, kue, dan koran. Jajanan itu kelihatannya menggiurkan, nggak taunya memang saya yang belum sarapan. Uang tinggal 5000 perak di kantong, buat saya berat untuk membeli makanan-makanan itu. Saya terpaksa menunda sarapan sampai tiba di Jogja.

Pukul 06.15, ya sekitar jam segitu, patas berangkat melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Status penumpang penuh, full seat jadi nggak ada ceritanya mengulur-ngulur waktu di jalan, pokoknya langsung joss. Menelusuri jalur Ambarawa-Magelang, ternyata cukup menjengkelkan. Jalurnya padahal menyenangkan, naik turun dengan pemandangan bukit dan pegunungan. Namun sayangnya jalur ini hanya 2 lajur sehingga hanya cukup untuk 1 kendaraan dari 2 arah. Hal yang membuat saya jengkel bukan soal 2 lajurnya tetapi jalur ini sering dilewati truk-truk bermuatan pasir dan bebatuan. Truk-truk bermuatan itu berjalan sangat lambat apalagi setiap melewati tanjakan. Akibatnya antrian kendaraan-kendaraan lain termasuk Patas Nu3 semakin memanjang. Saya hanya bisa menikmati saja, sambil memutar lagu melalui ponsel.

Jam setengah 8 kurang lebih masih berada di antrian yang panjang. Tetapi kali ini sumber antrian sudah keliatan, yaitu truk tronton. Sang supir sepertinya mengambil langkah aman, sementara beberapa sedan kecil yang mulai tak sabaran menyalip beberapa kendaraan di depannya sekaligus melalui jalur berlawanan arah. Saya setia menonton pertunjukan yang membosankan itu hingga sampailah kita tepat di belakang truk itu. Kali ini sang supir baru mau menyalip. Begitulah kira-kira hal-hal yang saya temui selama di perjalanan menuju Yogyakarta ini. Sampai di Kota Magelang, ada beberapa penumpang yang turun di sini. Melihat suasana Magelang mengingatkan saya pada KTT Muntilan. Ada beberapa spot-spot yang masih saya ingat betul, seperti Terminal Secang dan Pabrik Karoseri New Armada.

Entah kenapa saya tertidur dan bangun-bangun sudah ada di daerah Sleman. Tanda perjalanan etape kedua akan berakhir, tepatnya berakhir di Terminal Jombor. Ketika menginjakan kaki di Terminal Jombor, saya langsung bergegas mencari ATM di luar terminal. Untungnya di seberang terminal ada ATM BCA, letaknya ada di dalam Alfamart. Lagi-lagi saya beruntung, saya nggak perlu repot-repot mencari ATM. Plusnya, sekalian ngambil duit sekalian beli minuman di Alfamart. Setelah dompet terisi, baru saya mencari makan di dalam terminal. Saya mengelilingi terminal tetapi nggak menemukan warung yang saya cari, yaitu Tongseng Jamur alias Tongseng Asu... hehehe. Akhirnya saya langsung menuju Malioboro dan memutuskan mencari makanan di sana. Dengan modal 3000 rupiah saya sudah bisa keliling Yogyakarta dengan naik Trans Jogja. Untuk menuju ke Malioboro, maka saya harus naik Trans kode 2A sekali naik saja. Beruntung ada Trans Jogja, karna sebagai pengunjung, saya nggak perlu bingung harus naik apa. Tinggal datang ke Halte Trans jogja dan tanya ke petugas kemana kita akan pergi, pasti langsung diberi tahu kode bus yang harus kita naiki. Ketika di dalam bus, kru/kondektur Trans Jogja akan selalu memberikan informasi setiap kali singgah di Halte.

Sumber foto: http://dishub-diy.net
Kondektur menginformasikan halte selanjutnya adalah Malioboro. Selepas halte Malioboro, mata saya langsung melirik warung kaki lima yang nggak jauh dari halte. Di sini memang banyak banget yang buka warung atau tenda, dan jualannya rata-rata sama, yaitu gudeg, pecel ayam goreng, bebek goreng dan burung puyuh goreng. Menu yang saya pilih sudah pasti Gudeg pemirsa. "Lha ngapain jauh2 ke Jogja kalau cuma buat makan Pecel Ayam, di rumah juga buanyak tho." Setelah saya habiskan dengan lahap, maklum laper berat. Jujur saya katakan kalau rasanya biasa aja. Andaikan saya punya waktu banyak di Jogja, maka saya akan ke Jalan Wijilan dekat Keraton Yogyakarta untuk hunting Gudeg, karna di situlah tempatnya The Truly Gudeg of Yogyakarta, sejarah gudeg dimulai di tempat itu. Oke, saya sudah menghabiskan 26.000 untuk Gudeg ditambah sepotong Bebek Goreng.

photo for illustration only
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki di sekitar Malioboro, dan rencana saya selanjutnya adalah membeli Bakpia Pathok, makanan khas Jogja. Awalnya saya berjalan seolah-olah tahu letak Pabrik Bakpia 25 yang saya incar itu, padahal benar-benar tersesat dan kebingungan. Lama berjalan ndak tentu arah, akhirnya saya putuskan untuk naik Becak saja. Sebelum naik itu becak, saya bertransaksi dulu sama tukang becaknya. Setelah deal, saya naik ke becak sambil tanya-tanya ke tukang becak. "Gimana kalo ke bakpia 99 aja mas, rasanya sama tetapi harganya lebih murah", tawar tukang becak. Saya tetap bersi-kuku dengan Bakpia 25, karena berdasarkan informasi yang saya temukan di dunia maya, Bakpia 25 lebih terkenal karna berdiri lebih lama dibanding pabrik Bakpia lainnya. "Bakpia 25 masih ke sono lagi mas" tambahnya. Nah, kata-kata ‘kesono lagi’ itu yang membuat saya agak goyah. Waktu terus berjalan, sementara saya telah menghabiskan waktu yang sia-sia saat berjalan kaki tak tentu arah. Saya pun menyerah dan berkata "Ya sudahlah pak, ke 99 saja". Walaupun bukan Bakpia 25, toh sama-sama bakpia asal Jogja.

Tiba di toko Bakpia Pathok 99, dan yang saya lihat adalah pengunjung yang cukup ramai. Banyak pembeli memborong bakpia yang nggak hanya satu dua bungkus tetapi bisa lebih dari sepuluh bungkus. Kotak-kotak bakpia yang ditaruh seketika langsung diburu pembeli sehingga pelayan toko harus menumpuknya kembali dengan kotak bakpia yang baru, sirkulasinya benar-benar cepat. Bakpia yang tersedia ada rasa Kacang Ijo, Keju dan Coklat, sementara rasa keju-lah menjadi yang terfavorit. Saya membeli 4 kotak bakpia rasa keju dengan satu kotak seharga 18rb rupiah. Melihat langit mendung dan gelap sekali, saya nggak mau berlama-lama dan bergegas ke bagian kasir. Baru melangkahkan kaki naik ke atas Becak, hujan turun dan cukup lebat. Saya pun memilih untuk menunggu sampai hujan ini sedikit reda. Sedangkan Tukang Becak membuka plastik di becaknya, untuk persiapan kalau saya mau jalan.

Sumber: http://kristianpitrajaya.blogspot.com
Feeling saya memang benar, nggak lama kemudian hujan berganti gerimis. Waktu yang tepat untuk melanjutkan perjalanan untuk kembali ke tempat sebelumnya. Tukang becak menawarkan kepada saya lagi, untuk mampir di Kios Kaos Capung yang setiap kaos harganya 55rb. Karena arahnya sejalan, saya rasa nggak ada salahnya untuk mampir. Gak jauh dari toko Bakpia, saya berhenti di depan toko-toko penjual kaos. Di sini saya disodorkan katalog gambar-gambar desain kaos. Ada satu gambar yang menarik perhatian saya, sayangnya stoknya sudah habis, lalu saya pilih desain kedua dan beruntung masih ada. Kaos Capung bergambar peta Jogja di depannya, saya bayar pas 55rb. Sebelumnya saya coba tawar tetapi katanya pelayan tokonya udah nggak bisa ditawar lagi. Perjalanan dilanjutkan, dan hujan pun reda. Tukang becak menggulung kembali plastik 'jas hujannya'. Sampai di halte Trans Jogja, saya turun dan membayar tukang becak 2 kali lipat dari harga yang sebelumnya disepakati. Memang sudah rejeki tukang becak kok dan saya ikhlas.

Kembali ke ... Trans Jogja. Untuk menunju Terminal Jombor ternyata harus transit sekali. Pertama saya naik bus dengan kode 2A, lalu turun di halte Ahmad Dahlan. Di Halte Ahmad Dahlan saya naik bus 2B. Selama naik Trans Jogja, hujan kembali turun dengan lebat. Melihat suasana Kota Yogyakarta yang basah diguyur hujan, saya jadi ingat lagunya Kla Projcet berjudul Yogyakarta. Langit lambat laun menjadi terang, hujan pun berhenti. Sampai di Jombor, saya melihat Patas Nu3tara OH 1525 dengan balutan Setra tetapi yang ini kelihatan lebih kinyis-kinyis dari yang pagi tadi. Saya bimbang lan bingung antara langsung naik ini atau tunggu naik Patas langsung ke Kudus. Nggak mau melakukan kesalahan yang fatal akhirnya saya tanya ke agen saja. Menurut kru agen Nu3tara, kalau saya naik Patas Kudus jam 2 nanti, saya nggak bakalan nutut sampai di Kudus sebelum jam 6. Akhirnya saya naik patas itu juga. Lagi-lagi saya duduk di barisan tengah. Ketika saya naik, bus berangkat, padahal penumpang belum ada setengah. Selama perjalanan ada hal yang lucu, supirnya pake kaca mata hitam kalau dari jauh mirip Mr. B, supir Muji Jaya. hehehe... Tetapi bener-bener joss, dan kali ini nggak takut nyalip beberapa kendaraan sekaligus.

Saya tertidur dan bangun-bangun sudah ada di Bawen. Di daerah Ungaran, jalan macet dan kendaraan berjalan merayap. Dampaknya kecemasan saya muncul lagi. Lagi-lagi saya menduga yang aneh-aneh, “jangan-jangan sampai Banyumanik macet kayak gini lagi.” Macetnya memang panjang, sampai tiba di suatu kerumunan. Di pinggir jalan, saya melihat ada truk terguling. Rupanya ini biang keladinya. Setelah itu lalu lintas menjadi lancar. Selepas Ungaran, saya selalu memperhatikan sebelah kanan bus, berharap menemukan bangunan yang saya cari. Apa itu?... sebuah PAGODA. Pagoda ini menjadi tanda buat saya kalau sebentar lagi akan sampai di Terminal Banyumanik, kurang lebih 1,5 km lagi.

Sumber: http://indravaganza.files.wordpress.com
Sampai di Banyumanik, banyak penumpang yang turun di sini dan tersisa sedikit sekali yang ada di dalam bus. Setelah melewati lampu merah Sukun, bus berhenti. Kami diminta pindah bus oleh kru lantaran ingin putar kepala ke Jogja lagi, tetapi tanpa dipungut bayaran lagi. “Ya nggak apa-apalah, sing penting sampe di Terminal Terboyo.” Kami, penumpang yang tersisa dioper ke Royal Safari. Dengan selamat kru Royal Safari mengantarkan kami sampai ke dalam terminal.

Sekitar setengah 5 sore, di Terminal Terboyo, saya mencari angkutan menuju Kudus. Lalu saya melihat bus Nu3tara AC livery jadul. Walaupun Nu3tara, saya merasa sedikit ragu untuk naik ini. Tetapi karena nggak ada pilihan lain, saya terpaksa naik ini sambil berharap sampai di Garasi Karanganyar sebelum jam 6. Bumel Nu3tara ini “ngetem” tiga kali dalam area yang berdekatan, pertama di dalam terminal, kedua di lampu merah (jalan masuk terminal) dan yang ketiga hanya berjarak 10 meter dari tempat sebelumnya. Setelah ngetem yang begitu lama, bus berjalan santai sementara si Kernet menjajakan jasa angkutnya kepada orang-orang yang ada di pinggir jalan. Rasa cemas yang berlebihan membuat saya keringat dingin. Suasana semakin mencekam lantaran ponsel saya mati sehingga tidak bisa melihat jam. Langit terlihat semakin pudar cahayanya, tanda matahari akan tenggelam sebentar lagi. Tiba-tiba, supir menambah kecepatan laju bus. Sampai di terminal Demak, rasa cemas saya mulai berkurang. “I know it will make it” slogan yang bisa membuat saya tenang. Melewati Masjid Agung Demak, melewati pasar Demak, hingga sampai di antrian kendaraan. MACET. Duerr... Akhirnya saya mencoba menenangkan diri lewat tidur-tiduran. Waktu menunjukan pukul 17.40, dan akhirnya saya sampai di garasi Nu3. Ternyata tidak telat bahkan lebih cepat sampai, mungkin saya yang terlalu berlebihan. Hehehe...

Di garasi, saya sempat salah tempat, ternyata tempat pemberangkatan penumpang dipindah ke tempat lain yang jaraknya kira-kira 100 m dari pintu masuk garasi. “Pantesan kok sepi amat... udah gitu pede aja lagi nunggu sendirian di sana...” Beruntung satpam di situ memberi tahu saya tempat yang benar. Tempat Pemberangkatan penumpang bus Nu3tara sepertinya memang baru. Di sini ada tempat parkir mobil dan motor dan di dekat tempat parkir ada pedagang makanan/minuman. Lalu ada ruang tunggu yang cukup luas, ada mushola, toilet dan ada kios oleh-oleh. Di belakangnya ada Garasi yang menyatu dengan garasi lama. Pertama-tama, saya numpang nge-charge ponsel di sini. Abis itu cuci muka, ganti baju, terus makan di depan. Rasa lapar sudah melanda saya sejak dari Terminal Terboyo. Beruntung, di sini ada yang berjualan dan menu yang tersedia adalah Nasi Pecel plus ada goreng-gorengan juga aneka minuman. Nasi Pecelnya enak banget lho bro, murah lagi.

Sekitar jam 6 lebih seperempat, Si Putih Scania sudah datang. Saya taruh tas saya di seat 4C, yang ada di hadapan pintu tengah. Saya kembali bertemu dengan Pak Tris. Beliau melihat saya sambil bertanya, “lho, langsung pulang?” “Iya Pak, hehehe...” Di depan bus juga ada Pak Dar, tetapi saya malah sibuk memainkan seat elektrik NS-01 ini. Maklum seharian tadi naik bis kota, bis patas, dan bis bumel, jadi pengen sekali menikmati kenyamanan seat single elektrik ini. Puasss rasanya...

Barisan Nu3tara Super Executive

Kami berangkat sekitar pukul 18.30, sedangkan NS-04 sudah lebih dulu berangkat dan disusul NS-99, barulah terakhir NS-01. Pak Darsono sebagai pemain pinggir kali ini. Awalnya, untuk perjalanan kali ini saya memang nggak berniat bergadang sepanjang jalan dan mau dipuas-puasin tidur nyenyak, lagipula duduk di seat 4C susah untuk memantau ke depan. Singkat cerita, kami sudah ada di Tol Semarang. Saya nggak menduga kalau Pak Darsono melajukan Si Putih begitu cepat... Rasanya wuss wuzz... Semakin lama saya semakin penasaran, berapa kecepatan yang ditempuh. Tetapi karena saya duduk di tengah, saya nggak bisa melihat speedometer. Satu-satunya cara yaitu lewat GPS dalam ponsel saya. Sementara bus melaju dalam kecepatan tinggi, saya masih mencoba mengatur setingan GPS. GPS baru ON setelah RPM mesin berkurang, dimana otomatis kecepatan berkurang juga. Walau demikian, dalam GPS saya tercatat kecepatan maksimal mencapai 108 km/jam, yang saat itu sedang menyalip konvoi bus termasuk salah satunya PK.

Di Krapyak, lalu lintas cukup padat, selain karena banyak kendaraan yang parkir di pinggir jalan, juga ada truk-truk yang berjalan lambat. Di sini ada Si Putih, Rosalia Indah, dan Raya saling berlomba mendapatkan posisi terdepan. Si Putih berusaha mengambil jalur kiri, tetapi di luar dugaan, PK dari belakang menerobos duluan. Ckckck... boleh juga tenaganya, padahal jalannya agak menanjak. Jadilah posisi sementara dari belakang ada Si Putih, PK, Rosin dan Raya. Baik Si Putih maupun PK sama-sama cepat dan menyalip Rosin dan Raya. Pada akhirnya PK harus takluk dan sampailah juga kami di Terminal Mangkang. Di sini Si Putih masuk tapi hanya numpang lewat saja karena tidak ada penumpang, kata Pak Dar, agennya udah pulang. Banyak yang sudah terlupa dalam perjalanan malam itu, padahal petempuran jalan saat itu cukup panas. Terakhir sebelum sampai di RM. Sari Rasa, Si Putih menyalip Bejeu di Jalan Bypass Semarang-Kendal, lalu mengekor Nu3tara livery Manhattan/New York sampai tiba di rumah makan.

Menu yang disajikan di RM. Sari Rasa membuat saya tanpa berpikir panjang langsung menghabisinya. Menunya terdiri dari Orek tempe, Sayur Sop, Ayam goreng, dan Daging Sapi. Pokoke maknyoss... Setelah puas dan kenyang, saya duduk-duduk di teras sambil memantau keadaan sekitar. Di sini NS-04 dan NS-99 berada di posisi paling depan, tandanya sampai di sini lebih dulu. Rasanya baru sebentar di sini, tiba-tiba ada panggilan bagi penumpang NS-01 untuk naik ke bus karena bus akan segera diberangkatkan. Setelah mapan di seat 4C, saya amati bus NS-04 sudah nggak ada, yang ada hanya NS-99 yang berjalan beriringan di depan si Putih Scania, keluar dari RM. Sari Rasa. Di dalam bus, saya mendapati kursi 2C dan 3C kosong, segera langsung saya tanya Kernet. Ternyata ini memang kosong, pemirsa. Waaw, mimpi apa tadi siang... Saya pun minta ijin untuk duduk di seat 2C. Lagi-lagi beruntung yaa...

Kali ini Pak Tris menjadi pemain tengah. Berjalan di belakang Signature Class dari Bandung, sesampainya di Tanjakan Alas Roban, NS-99 mulai menjauh. Si Putih tetap berjalan santai, saat ada kesempatan barulah menyalip kendaraan yang ada di depan. Pak Tris memang terlihat santai, mungkin sedang melakukan pemanasan dulu. Selepas dari tanjakan, Si Putih mulai berjalan semakin cepat, mulai mengejar NS-99 yang sudah jauh dari pandangan. Rupanya truk-truk yang berseliweran berjalan lambat, kadang di kiri kadang di kanan, menyulitkan Pak Tris untuk melajukan Si Putih. Pelan tetapi pasti sampailah kami tepat di belakang Signature Class. Bersama dengan Si Siggy, dua bus mewah Scania menerobos jalur Batang – Pekalongan melewati bus-bus, truk bahkan kendaraan kecil lain. Anehnya walaupun dua-duanya bisa menerobos kendaraan lain, Si Putih sering kali memainkan lampu dim ke arah depan (Si Siggy), seolah-olah meminta diberikan jalan. Akhirnya secara tiba-tiba, Pak Tris menekan gas lebih dalam dan berkat power yang besar, Si Putih mengambil kesempatan dengan menerobos lajur kiri yang kosong. Hebatnya, hal itu dilakukan pada saat NS-99 mencoba untuk menyalip bus besar yang ada di depan, plus... jalannya agak menanjak dan berkelok. Ini artinya Si Putih mendapat 2 point. Setelah beberapa lama, saya mencoba melihat ke belakang, dan saya melihat NS-99 sudah jauh sekali di belakang.

“NS-99 sudah berhasil di-take over, berarti tinggal NS-04 nih, mungkin aja nggak jauh.” gumam saya dalam hati. Setelah itu, saya menyaksikan kedahsyatan mesin bertenaga 310hp ini melahap bus-bus lain, yang menurut saya adalah hal yang wajar. Tetapi berada di dalam bus ini dengan kecepatan yang nggak biasa (kecepatan tinggi) merupakan kesempatan yang jarang didapat. Soalnya belum tentu setiap kali kita naik Scania mendapat pasangan supir yang joss seperti Pak Tris dan Pak Darsono ini. Sayangnya, saya nggak mengabadikan momen ini lewat kamera, just wachted it by myself, feel the power and enjoy the flying low journey.

Seketika saya memilih rebahan, menyetel seat dalam posisi rebah maksimal. Saya tidur dengan mata terbuka, memandang ke arah luar jendela samping. Melihat puncak pepohonan di tepi jalan seolah terseret-seret. Merasa kamu sedang terbang dengan kecepatan yang tak terkendali, diikuti dengan getaran-getaran halus, tanda bahwa kita masih di darat. Itulah yang namanya sensasi Flying Low, dan baru benar-benar terasa jika kita berada di baris tengah di mana kita tidak bisa melihat ke kaca depan, melainkan hanya ke kaca kiri dan kanan.



Back to The Story... Akhirnya sampailah kami bertemu dengan bus Haryanto merah The Phoenix (tetapi tanpa tulisan Phoenix), dengan sebuah stiker kecil tertempel di kaca belakang bertuliskan “Laskar Cinta”. Inilah yang saya tunggu, pergulatan di jalan pantura raya dengan bus dari PO yang satu ini, yang sering disebut-sebut dan diklaim sebagai yang tercepat di Pantura. Kabar ini saya dengar dari sesama penggemar bis yang sering menyebutkan kalau bus PO ini paling pertama sampai. Bagi saya hal itu sangatlah wajar lha wong berangkatnya juga paling duluan. Masih di Pantura, ceritanya Si Putih mengejar Laskar Cinta, namun masih ada beberapa kendaraan besar yang menghalang. Sampai tiba di jalur bypass Pemalang-Tegal. For your information, jalur ini sering macet karna hanya ada 2 lajur dengan 2 arah. Jalur ini juga sedang mengalami perbaikan dan perluasan, sehingga ada beberapa ruas yang mempunyai 4 lajur.

Barisan kendaraan berjalan lambat di jalur ini, sesekali Si Putih menyalip kendaraan di depan saat jalur berlawanan sedang lengang. Ketika momen menyalip ini saya melihat bus Haryanto itu, tetapi bukan lagi satu melainkan ada dua. Satu, dua dan tiga kali menyalip, jarak Si Putih dengan bus itu, yang kemudian saya ketahui adalah The Destroyer, tinggal satu truk. Saat sampai di 4 lajur, dengan sigap Pak Tris membanting stir ke kanan mengambil jalur kosong, sementara The Destroyer juga melakukan yang sama. Karena kendaraan dari arah berlawan masih jauh, Pak Tris mengambil lajur berlawanan itu, memanfaatkan power Scania dan berhasil melewati bus Pak Kopral warna abu-abu itu. Wueedan tenan...

Setelah melewati jalan pantura pada umumnya. Aksi kejar-kejaran terjadi seperti biasanya. Lambat laun Laskar Cinta yang semula menjauh, sekarang berada di di depan mata. Seperti biasa, Si Putih menyalip Laskar Cinta dan kendaraan apa pun yang ada di depan. Momen penyalipan Laskar Cinta terbilang biasa-biasa saja, nggak ada yang istimewa. Sekarang jadilah Si Putih berada paling depan, dan suasana jalan di depan cukup lengang.

Kondisi jalan yang semula mulus, mulai ada tanda-tanda kerusakan jalan. Sesampainya di Tegal, kerusakan dan lubang jalan mulai intens. Terlihat Pak Tris mulai menurunkan kecepatan dan agak kerepotan ketika melewati ruas jalan yang rusak parah. Di Tegal Kota, Si Putih berjalan lambat demi melewati lubang jalan, tiba-tiba saya dikagetkan sesuatu dari sebelah kanan. Ternyata Laskar Cinta menerobos dari kanan, disusul The Destroyer. “Wah, parah tuh, jalan rusak main embat aja, gak sayang sama armadanya kali ya” cetus saya dalam hati. Rasa jengkel dan kecewa bercampur aduk, ketika dua armada pak kopral itu mulai menjauh dan menghilang. Tetapi, saya yakin keduanya bisa terkejar, yakinlah sumpah boss... Menelusuri medan jalan yang sudah ‘tidak perawan lagi’, merupakan kendala yang cukup berat. Tetapi ketika melewati ruas jalan yang mulus, Pak Tris memacu kecepatan Si Putih, dan menurunkan kecepatan ketika ada ruas yang cacat dan begitulah seterusnya. Meninggalkan kota Tegal, kondisi jalan sudah agak normal, lubang dan cacat sudah mulai jarang ditemui.

Di Jalan Tegal-Brebes, Si Putih berhasil mengejar Laskar Cinta, sementara The Destroyer tidak kelihatan batang knalpotnya. Bagaikan dejavu, kejadian yang sebelumnya terjadi lagi. “Sungguh malang, sudah lari jauh-jauh, eh kekejar juga...” senang dalam hati. Di Brebes, The Destroyer terlihat jauh di depan. Selama beberapa menit berusaha mendekat, namun lagi-lagi truk-truk mengacaukan aksi Si Putih. Sampailah di dekat lampu merah Pejagan dan The Destroyer belok kiri, sedangkan Si Putih jalan terus (tidak lewat Tol Bakrie). “Wahhh... batal aksine nyong” penonton kecewa, saya pun ikut kecewa.

Ternyata lagi-lagi Si Putih lewat jalur biasa (Losari), sepertinya semua Nu3tara memang melewati jalur ini. Karena jalan lengang dan sepi, saya merebahkan diri dan tidur. Ketika mata saya terbuka, saya melihat NS-04 ada di samping Si Putih, tetapi dalam keadaan berhenti. Rupaya berhenti di sini lagi (RM. Kalijaga), dan nggak lama kemudian NS-04 meninggalkan kami lebih dulu. Saya pun tidur lagi, kenyamanan seat elektrik kelas wahid ini membuat saya tergoda untuk tidur lagi. Saya bangun lagi dan saya melihat bus yang nggak asing, yang biasa saya lihat di Terminal Rawamangun. Tidak lain dan tidak bukan adalah The Titans. Ceritanya si Putih sedang seru-seru mengekor The Titans sambil terus memainkan lampu dim. The Titans ini cukup gesit dan kenceng juga ternyata larinya. “Geal geol nya nggak nahan bro...” salut saya melihat kelincahan driver pak Kopral yang satu ini. Tetapi sekali lagi, saya tertidur. Selain karena kenyamanan seat ditambah saya memang merasa ngantuk sekali saat itu.

Merasa puas tertidur dalam seat yang empuk, saya bangun. Alangkah terkejutnya saya, ternyata sudah sampai di persimpangan Jalan Pemuda Rawamangun. Saya tidur benar-benar pules. Dengan terburu-buru saya menyiapkan diri dan barang-barang yang saya bawa sambil memastikan kalau tidak ada barang yang tertinggal. Nggak lama kemudian, Si Putih tiba di Terminal Rawamangun tepat jam 4 pagi lebih sekitar 10 menit. Saya turun seraya mengucapkan terima kasih kepada Pak Darsono dan kru. Merasa penasaran saya duduk untuk istirahat sambil menunggu bus-bus yang masuk ke Terminal Rawamangun, dan sempat saya abadikan lewat kamera walaupun kurang bagus hasilnya.

Safari Dharma Raya, pukul 04.16
Pahala Kencana, pukul 04.17
Wah, mas bro... ternyata NS-04 berhasil kesalip. Pukul 04.18
The Titans, pukul 04.22

Puas dengan hasil yang saya dapat, saya pun tertawa terkikik-kikik. Lalu jemputan saya datang, dan saya pun kembali pulang. Karena waktu masih pagi hari, saya kembali tidur sebelum melanjutkan aktifitas yang menyenangkan selanjutnya. Sekian aktiftas turing saya kali ini. Terima kasih telah membaca cerita perjalanan saya ini, sampai jumpa di kesempatan berikutnya.




Thanks to:
PO. Nu3tara, Kantor Daan Mogot, Pool Genuk, Agen Jombor, dan Garasi Karanganyar.
Pak Darsono, Pak Tris, & Kru NS-01
Trans Jogja
Bagus Tanoto a.k.a BagusNS15, beserta adik dan keluarganya.
Member Forum Bismania

Anggaran:
1. Tiket Nu3tara NS-01 (pp) = Rp. 400.000,-
2. Tiket Nu3tara Patas Jogja (pp) = Rp. 70.000,-
3. Minuman + Roti = Rp. 10.000,-
4. Trans Jogja (2x) = Rp. 6.000,-
5. Gudeg Jogja = Rp. 26.000,-
6. Becak = Rp. 10.000,-
7. Bakpia Pathok 99 (4 kotak) = Rp. 72.000,-
8. Kaos Capung = Rp. 55.000,-
9. Bumel Nu3tara Kudus = Rp. 6.000,-
10. Nasi Pecel + Fresh Green Tea = Rp. 10.000,-
11. Lain-lain = Rp. 10.000,-

TOTAL = Rp. 675.000,-

Termasuk harga yang mahal untuk sebuah turing saja, tapi setahun sekali juga nggak masalah. Hehehe...